Noonan Syndrome Adalah

Noonan Syndrome Adalah

What causes Pelvic Congestion Syndrome?

Even after decades of research, there is found to be no singular cause to Pelvic Congestion Syndrome. It is attributed to several bodily functions, all surrounding dysfunctional pelvic veins and ovarian veins. In your veins, there are valves that let blood flow to a single direction. These valves close to prevent blood from flowing backwards, which can negatively impact the supposed blood flow by interrupting important bodily functions. When this happens, you may suffer from varicose veins or varicosities, which occurs when veins become twisted, dilated, and overflow with blood.

Varicose veins around the ovaries can result in prolonged pain from interrupted blood flow in malfunctioning and congested veins. When the valves weaken, they are not able to prevent blood from flowing backward. There becomes a reflux of blood, which is often accompanied by pain and discomfort around the pelvic area. Since the veins cannot handle the sudden onset of blood, the veins tend to stretch and twist.

It is a common misconception that varicose veins are only found in the leg area. In reality, varicose veins can also develop in your pelvic area. Some researchers believe that the emergence of varicose veins in the pelvis is rooted in pregnancy. When a person gets pregnant, they undergo major body changes. The body tries to compensate for the extra processes by producing extra blood which makes the heart pump faster than the normal rate. As the body’s needs increase, it exerts more effort to produce nutrients and keep up with natural processes of growing a foetus.

With all the hormonal imbalances, weight gain, body aches, and other physical changes, your veins may be affected by circulation issues. This onset of stress may prevent veins from properly functioning. Since chronic pelvic pain is a symptom of both pregnancy and Pelvic Congestion Syndrome, it becomes increasingly important for women to seek professional advice from doctors and specialists.

In addition to this, women in the menopausal stage rarely develop Pelvic Congestion Syndrome. This may be linked to hormonal changes, with the female body producing increased amounts of oestrogen during pregnancy. Oestrogen is linked to the dilation or widening of the veins, which may lead to circulation issues. When a woman is experiencing menopause, she no longer ovulates and there is a decreased level of oestrogen production. Even so, there is an extremely rare chance that menopausal women can still acquire Pelvic Congestion Syndrome.

What are conditions share similar symptoms with Pelvic Congestion Syndrome?

Chronic pelvic pain and other previously mentioned symptoms are linked to several other conditions. Since chronic pelvic pain is a common occurrence, it can be classified as a symptom in digestive, circulatory, urinary, and nervous system conditions.

Pembinaan Olahraga

Terlibat dalam olahraga adalah salah satu cara untuk membangun keterampilan dalam berelasi. Sayangnya, beberapa dari hubungan yang terbangun lewat pembinaan olahraga pada akhirnya berakhir negatif.

Teknik pelatihan yang keras bisa menjadi kasar. Atlet mungkin mengatakan pada diri sendiri bahwa perilaku pelatih mereka adalah untuk kebaikan mereka sendiri. Ini pada akhirnya dapat menjadi bentuk sindrom Stockholm.

Pencegahan Stockholm Syndrome

Sayangnya, tidak ada cara yang pasti untuk mencegah sindrom stockholm, mengingat kondisi ini berkembang sebagai respons terhadap trauma ekstrem, seperti penculikan atau kekerasan fisik dan mental.

Karena sindrom ini merupakan respons psikologis  yang tidak dapat diprediksi, tindakan pencegahan cenderung sulit dilakukan.

Stockholm syndrome juga tidak terbatas hanya pada korban penculikan. Orang yang mengalami pelecehan fisik atau emosional dalam hubungan pribadi atau lingkungan kerja juga dapat mengembangkan perasaan serupa terhadap pelaku.

Menyadari atau memahami tanda-tanda awal dan mencari respon yang cepat terhadap trauma bisa membantu mengurangi risiko berkembangnya sindrom ini. Meski begitu, hal ini tidak sepenuhnya dapat dicegah.

Toxic Relationship

Orang yang mengalami hubungan toksik dapat mengembangkan keterikatan emosional dengan pelakunya.

Pelecehan seksual, fisik, dan emosional, serta inses, dapat berlangsung selama bertahun-tahun.

Selama waktu ini, seseorang dapat mengembangkan perasaan positif atau simpati untuk orang yang menyalahgunakannya.

Pelaku sering mengancam korbannya dengan menyakiti, bahkan akan menghabisi nyawanya. Korban mungkin mencoba untuk tidak membuat marah pelaku dengan menjadi patuh.

Pelaku juga dapat menunjukkan kebaikan yang dapat dianggap sebagai perasaan yang tulus.

Hal ini selanjutnya dapat membingungkan anak (korban) dan menyebabkan mereka tidak memahami sifat negatif positif dari hubungan tersebut.

Orang-orang yang diperdagangkan seringkali bergantung pada pelakunya untuk kebutuhan, seperti makanan dan air. Ketika pelaku memberikan itu, korban mungkin mulai mengembangkan perasaan positif terhadap pelakunya.

Mereka mungkin juga menolak bekerja sama dengan polisi karena takut akan pembalasan atau berpikir bahwa mereka harus melindungi pelaku kekerasan untuk melindungi diri mereka sendiri.

Apa Itu Stockholm Syndrome?

Sindrom stockholm adalah mekanisme koping (coping mechanism) yang biasanya terjadi pada orang yang mengalami penculikan.

Korban akan mengembangkan perasaan positif terhadap penculik atau pelaku dari waktu ke waktu.

Kondisi ini juga berlaku untuk beberapa situasi lain termasuk pelecehan anak, pelecehan pelatih-atlet, pelecehan hubungan dan perdagangan seks.

Komplikasi Stockholm Syndrome

Perasaan simpati atau sayang yang dimiliki korban untuk pelaku dapat membuatnya enggan untuk keluar dari situasi yang sebenarnya membahayakannya. Kondisi ini dapat menyebabkan beberapa kondisi berikut:

Korban yang berhasil melepaskan diri dari pelaku juga mungkin akan mengalami komplikasi, seperti:

Pencegahan Stockholm Syndrome

Sayangnya, tidak ada cara yang pasti untuk mencegah sindrom stockholm, mengingat kondisi ini berkembang sebagai respons terhadap trauma ekstrem, seperti penculikan atau kekerasan fisik dan mental.

Karena sindrom ini merupakan respons psikologis  yang tidak dapat diprediksi, tindakan pencegahan cenderung sulit dilakukan.

Stockholm syndrome juga tidak terbatas hanya pada korban penculikan. Orang yang mengalami pelecehan fisik atau emosional dalam hubungan pribadi atau lingkungan kerja juga dapat mengembangkan perasaan serupa terhadap pelaku.

Menyadari atau memahami tanda-tanda awal dan mencari respon yang cepat terhadap trauma bisa membantu mengurangi risiko berkembangnya sindrom ini. Meski begitu, hal ini tidak sepenuhnya dapat dicegah.

Perasaan negatif terhadap figur otoritas

Korban sering mengembangkan ketidakpercayaan atau perasaan negatif terhadap pihak otoritas, seperti polisi atau pihak penegak hukum lainnya.

Hal ini terjadi karena korban melihat pihak otoritas sebagai ancaman bagi hubungannya dengan pelaku.

Cara Menangani Stockholm Syndrome

Tidak ada pengobatan khusus bagi penderita Stockholm syndrome. Namun, psikiater akan menggunakan beberapa metode yang biasa digunakan untuk mengatasi situasi traumatis, seperti peresepan obat antiansietas untuk mengatasi kecemasan yang dialami.

Selain itu, psikoterapi juga akan dilakukan untuk menangani Stockholm syndrome. Dalam psikoterapi, penderita akan diajarkan untuk mengatasi pengalaman traumatiknya.

Tujuan akhir dari semua penanganan Stockholm syndrome adalah untuk menyadarkan penderita bahwa yang mereka rasakan terhadap pelaku hanyalah metode pertahanan diri.

Stockholm syndrome merupakan kondisi tidak umum yang sering kali dirasakan oleh para korban penyanderaan. Bila Anda atau keluarga dan kerabat Anda ada yang mengalami gejala Stockholm syndrome, cobalah konsultasikan ke psikiater agar dapat diberikan penanganan yang tepat.